Kabinet Belanda benar-benar jatuh. Sebuah kejatuhan yang tidak terhormat akibat terlalu percaya pada pendusta. Pendusta itu bernama Ayaan Hirsi Ali, imigran Somalia yang kini hengkang ke Amerika Serikat (AS) setelah kewarganegaraan Belanda-nya dicabut penyusul pengakuannya bahwa ia mengajukan permohonan suaka dengan identitas palsu. Bagaimana sistem di Belanda bisa dibobol oleh seorang wanita yang selalu mengkampanyekan adanya penyiksaan terhadap wanita dalam Islam? Hirsi Ali meminta suaka politik pada 1992. Tahun ini, 14 tahun sejak itu, tingkahnya membuat krisis politik di Belanda berujung pada jatuhnya kabinet.
Dusta Hirsi Ali sendiri, sekalipun sudah diketahui publik sebelumnya, namun baru menemukan momentumnya ketika program televisi Zembla menyelidiki jejak perjalanannya.
Agustus 1997 atau 5 tahun sejak menyandang status pengungsi, Hirsi Ali mendapat kewarganegaraan Belanda. Saat itu Belanda percaya pada klaim-klaim wanita berkulit gelap itu bahwa dirinya menjadi korban penyiksaan karena berkelamin wanita.
Pada September 2002, Hirsi Ali mengaku dalam programa televisi Barend en Van Dorp bahwa ia berdusta mengenai identitasnya saat mengajukan permohonan suaka. Ia sepertinya begitu percaya diri bahwa pengakuannya tak akan berakibat apa-apa, meski dalam praktik normal penipuan identitas bisa berakibat dibatalkannya suaka.
Hirsi kian percaya diri karena namanya melambung dan menjadi pusat perhatian akibat pernyataan-pernyataannya yang menyudutkan Islam. Sebulan kemudian, partai liberal VVD mencium potensi besar pada diri Hirsi Ali dan menempatkannya di daftar kandidat pada Pemilu.
Immigratie en Naturalisatiedienst/IND (Dinas Imigrasi dan Naturalisasi Belanda) melakukan pemeriksaan pada Hirsi Ali, namun tidak menemukan hal-hal yang menyimpang dalam dokumen. Hasil yang berbeda disimpulkan oleh Algemene Inlichtingen en Veiligheidsdienst/AIVD atau Dinas Interiljen dan Keamanan Belanda. AIVD menemukan sesuatu yang tidak beres pada Desember dan memberitahu Ketua Partai VVD saat itu, Bas Eenhoorn, mengenai kemungkinan dampak yang bisa ditimbulkan akibat naturalisasi Hirsi Ali yang tidak sah.
Pada 2003, Hirsi Ali secara terbuka menghina Nabi Muhammad. Menyakiti Muslim, namun Hirsi Ali menangguk keuntungan. Namanya makin meroket dan dia terpilih menjadi anggota parlemen untuk partai liberal VVD. Pernyataan dan kolom-kolomnya di koran semakin dipenuhi isu agama. Dia sukses memanaskan suhu politik dan sosial di Belanda. Dan, tabu yang dibobolnya menyebar ke Eropa.
Pada 2004, Hirsi Ali merangkul sineas Theo van Gogh untuk membantu mewujudkan film Submission tentang apa yang diklaimnya sebagai nasib wanita di dunia Islam. Hirsi Ali yang menyiapkan naskahnya sekaligus voice-over atas film yang menampilkan wanita Islam salat dengan tubuh telanjang, hanya dibalut kain tembus pandang.
Adegan selanjutnya dia menjalani tindakan kekerasan. Tubuhnya yang diwarnai tulisan ayat-ayat Alquran dipenuhi luka-luka bekas kekerasan.
Pengamat film dan politik mengkritik Submission sebagai provokasi berbahaya dan bisa memicu polarisasi. Dan benar. Tidak lama kemudian, Theo van Gogh dibunuh. Hirsi Ali mendapat pengawalan negara.
Pada 2007, Programa Zembla menyiarkan jejak perjalanan Hirsi Ali. Pengakuan tentang kawin paksa, nama dan tanggal lahir, dalam programa itu dikupas tuntas sebagai kebohongan Hirsi Ali belaka. Politik di Belanda langsung mencapai titik didih.
Menteri Rita Verdonk mengirim surat ke parlemen dengan isi bahwa Hirsi Ali dianggap tidak pernah menerima kewarganegaraan Belanda. Hirsi Ali diberi waktu enam pekan untuk menanggapi Hirsi Ali menanggapinya dengan menggelar konferensi pers pada 16 Mei yang menyatakan mundur dari parlemen. Hari itu juga terungkap bahwa dia telah menyiapkan sekoci untuk hengkang ke AS dan diterima di lembaga think tank kaum neokonservatif, American Enterprise Institute.
Selasa (27/6) Verdonk berbalik menyatakan Hirsi Ali boleh tetap memiliki kewarganegaraan Belanda. Ia boleh tetap memakai nama Ali, dengan demikian dia dianggap tidak pernah berbohong. Sehari kemudian, krisis politik memuncak. Siangnya pada pukul 14.00 sidang pleno digelar dan berlangsung secara maraton hingga Kamis (29/6) pukul 06.00. Beberapa politisi nampak kuyu akibat tidak tidur. Sorenya sidang dilanjutkan lagi hingga tadi malam. Hasilnya, D-66 menyampaikan mosi tidak percaya kepada Verdonk dan menarik diri dari koalisi. Langkah ini disusul dengan pengunduran diri para menteri D-66. Kabinet Belanda jatuh, sementara Hirsi Ali menonton dari seberang Atlantik seakan tak pernah melakukan apa-apa. (ins)
Dusta Hirsi Ali sendiri, sekalipun sudah diketahui publik sebelumnya, namun baru menemukan momentumnya ketika program televisi Zembla menyelidiki jejak perjalanannya.
Agustus 1997 atau 5 tahun sejak menyandang status pengungsi, Hirsi Ali mendapat kewarganegaraan Belanda. Saat itu Belanda percaya pada klaim-klaim wanita berkulit gelap itu bahwa dirinya menjadi korban penyiksaan karena berkelamin wanita.
Pada September 2002, Hirsi Ali mengaku dalam programa televisi Barend en Van Dorp bahwa ia berdusta mengenai identitasnya saat mengajukan permohonan suaka. Ia sepertinya begitu percaya diri bahwa pengakuannya tak akan berakibat apa-apa, meski dalam praktik normal penipuan identitas bisa berakibat dibatalkannya suaka.
Hirsi kian percaya diri karena namanya melambung dan menjadi pusat perhatian akibat pernyataan-pernyataannya yang menyudutkan Islam. Sebulan kemudian, partai liberal VVD mencium potensi besar pada diri Hirsi Ali dan menempatkannya di daftar kandidat pada Pemilu.
Immigratie en Naturalisatiedienst/IND (Dinas Imigrasi dan Naturalisasi Belanda) melakukan pemeriksaan pada Hirsi Ali, namun tidak menemukan hal-hal yang menyimpang dalam dokumen. Hasil yang berbeda disimpulkan oleh Algemene Inlichtingen en Veiligheidsdienst/AIVD atau Dinas Interiljen dan Keamanan Belanda. AIVD menemukan sesuatu yang tidak beres pada Desember dan memberitahu Ketua Partai VVD saat itu, Bas Eenhoorn, mengenai kemungkinan dampak yang bisa ditimbulkan akibat naturalisasi Hirsi Ali yang tidak sah.
Pada 2003, Hirsi Ali secara terbuka menghina Nabi Muhammad. Menyakiti Muslim, namun Hirsi Ali menangguk keuntungan. Namanya makin meroket dan dia terpilih menjadi anggota parlemen untuk partai liberal VVD. Pernyataan dan kolom-kolomnya di koran semakin dipenuhi isu agama. Dia sukses memanaskan suhu politik dan sosial di Belanda. Dan, tabu yang dibobolnya menyebar ke Eropa.
Pada 2004, Hirsi Ali merangkul sineas Theo van Gogh untuk membantu mewujudkan film Submission tentang apa yang diklaimnya sebagai nasib wanita di dunia Islam. Hirsi Ali yang menyiapkan naskahnya sekaligus voice-over atas film yang menampilkan wanita Islam salat dengan tubuh telanjang, hanya dibalut kain tembus pandang.
Adegan selanjutnya dia menjalani tindakan kekerasan. Tubuhnya yang diwarnai tulisan ayat-ayat Alquran dipenuhi luka-luka bekas kekerasan.
Pengamat film dan politik mengkritik Submission sebagai provokasi berbahaya dan bisa memicu polarisasi. Dan benar. Tidak lama kemudian, Theo van Gogh dibunuh. Hirsi Ali mendapat pengawalan negara.
Pada 2007, Programa Zembla menyiarkan jejak perjalanan Hirsi Ali. Pengakuan tentang kawin paksa, nama dan tanggal lahir, dalam programa itu dikupas tuntas sebagai kebohongan Hirsi Ali belaka. Politik di Belanda langsung mencapai titik didih.
Menteri Rita Verdonk mengirim surat ke parlemen dengan isi bahwa Hirsi Ali dianggap tidak pernah menerima kewarganegaraan Belanda. Hirsi Ali diberi waktu enam pekan untuk menanggapi Hirsi Ali menanggapinya dengan menggelar konferensi pers pada 16 Mei yang menyatakan mundur dari parlemen. Hari itu juga terungkap bahwa dia telah menyiapkan sekoci untuk hengkang ke AS dan diterima di lembaga think tank kaum neokonservatif, American Enterprise Institute.
Selasa (27/6) Verdonk berbalik menyatakan Hirsi Ali boleh tetap memiliki kewarganegaraan Belanda. Ia boleh tetap memakai nama Ali, dengan demikian dia dianggap tidak pernah berbohong. Sehari kemudian, krisis politik memuncak. Siangnya pada pukul 14.00 sidang pleno digelar dan berlangsung secara maraton hingga Kamis (29/6) pukul 06.00. Beberapa politisi nampak kuyu akibat tidak tidur. Sorenya sidang dilanjutkan lagi hingga tadi malam. Hasilnya, D-66 menyampaikan mosi tidak percaya kepada Verdonk dan menarik diri dari koalisi. Langkah ini disusul dengan pengunduran diri para menteri D-66. Kabinet Belanda jatuh, sementara Hirsi Ali menonton dari seberang Atlantik seakan tak pernah melakukan apa-apa. (ins)
1 komentar:
setipe dengan pendeta ergun caner dan jusuf roni.
sama2 pembual.
ngarang crita kalau dulunya islam, ternyata boong besar.
Posting Komentar