Tentang kami

Bekasi, Jawa Barat, Indonesia
ARANA adalah sebuah Majalah Islam yang terbit tiap bulan di bawah Yayasan IRENA CENTER. Dengan misi utama membentengi Aqidah ummat dan membina Muallaf.

Minggu, Februari 10, 2008

SKANDAL FREEPORT


Salah satu bentuk penjajahan neo-liberalisme di negeri ini adalah kasus Freeport, yang untuk kesekian kalinya mencuat ke permukaan. Nampaknya kali ini kesabaran masyarakat Papua tak terbendung lagi. Protes-protes yang muncul diwarnai dengan demonstrasi beruntun dan bahkan bentrok fisik dengan aparat TNI/Polri.

Secara kasat mata, fenomena konflik Freeport memberikan gambaran yang menarik untuk dicermati. Tak diragukan, konflik-konflik yang terkait dengan keberadaan Freeport bukanlah fenomena baru dari adanya ketidakberesan perusahaan tambang Amerika itu selama ini. Bukan rahasia lagi Kontrak Karya (Contract of Work Area) yang ditandatangani pemerintah Orde Baru mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Sejak awal kehadiran Freeport di Timika, Papua (7 April 1967) telah memicu konflik, terutama dengan masyarakat suku Amungme dan Komoro. Mereka hidup disekitar tambang tembaga nyaris tidak tersentuh peradaban dan dalam keadaan sangat primitif. Perlakuan yang tidak akomodatif dari pemerintah dan pihak Freeport terhadap tuntutan masyarakat setempat telah memicu protes-protes yang berkepanjangan.

Lokasi pertambangan di daerah Ertsberg (gunung bijih tembaga) Papua pertama kali ditemukan oleh seorang ahli geologi berkebangsaan Belanda, Jean Dory, pada 1936. Kemudian dilanjutkan dengan ekspedisi Forbes Wilson pada 1960, yang menemukan kembali Ertsberg. Freeport sendiri pertama kali melakukan penambangan pada Desember 1967, pasca Kontrak Karya I (April 1967).

Ekspor pertama konsentrat tembaga terjadi pada Desember 1972. Kemudian pada 1986 ditemukan lagi sumber penambangan baru di Grassberg (gunung rumput) yang kandungan bahan tambangnya jauh lebih besar. Kandungan bahan tambang emas yang terdapat di situ adalah yang terbesar di dunia. Namun gunung Bijih (Ertsberg) yang sebelumnya tegak sebagai gunung taring, akibat tambang itu, telah hilang dari peta dunia.

Diperkirakan kuantitas produksi yang dapat diperoleh Freeport dalam sehari adalah 185 ribu sampai 200 ribu ton bijih tembaga dan emas. Singkatnya, Freeport dapat mengeruk dari kedua lokasi tersebut sekitar 30 juta ton tembaga dan 2,744 miliar gram emas. Bila dihitung secara kasar dengan standar harga per gram emas 100 ribu rupiah, berarti nilai emas yang terkandung di bumi Papua sekitar 270 triliun rupiah. Itu baru dari emas saja, belum produk tambang lainnya.

Kenyataan ini jelas sekali membuat Freeport makin berhasrat untuk memperpanjang Kontrak Karya. Oleh karena itu, dibuatlah Kontrak Karya II pada Desember 1991, yang memberikan hak kepada Freeport untuk menambang selama 30 tahun dengan kemungkinan perpanjangan selama 2 kali 10 tahun. Dengan demikian, Kontrak Karya II ini akan berakhir pada 2021; jika diperpanjang, maka akan berakhir pada 2041 (sekitar 34 tahun ke depan dari sekarang).

Namun ironisnya, masyarakat daerah dan negara tak memperoleh hasil yang proporsional dari pertambangan tersebut. Kontribusi Freeport kepada APBN (hingga 2005) hanya 2 triliun rupiah pertahun (sekitar 0,5 persen dari total dana APBN), di mana saham negara hanya 9,36% dan sisanya dimiliki perusahaan Amerika tersebut. Sungguh, nilai yang sangat minim untuk ukuran perusahaan raksasa seperti Freeport, yang penghasilannya pada 2005 mencapai 4,2 miliar dolar (sekitar 42 triliun rupiah).

Lalu mengapa Indonesia tidak mau belajar dari Bolivia? Negara miskin di Amerika Latin ini telah berhasil memaksa investor asing untuk memberikan laba yang lebih besar, dari 18% menjadi 82%. Tak disangka, para investor asing tersebut bersedia memenuhi permintaan ini. Mengapa demikian?

Joseph Stiglitz, dalam wawancaranya dengan Tempo saat berkunjung ke Indonesia (16 Agustus 2007), mengatakan mereka (para investor asing itu) sadar betul bahwa mereka sedang merampok kekayaan negara-negara berkembang (They will stay there, because they know that in the past they have been robbing the developing countries).

Sementara itu, kantor berita Reuters memberitakan bahwa empat bos besar Freeport minimal menerima bagian 126,3 miliar rupiah perbulan. Chairman perusahaan itu, James R. Moffet, menerima lebih dari 87,5 miliar rupiah perbulan. Sedangkan President Directornya, Andrianto Machribie, menerima sekitar 15,1 miliar rupiah perbulan. Dan tak dipungkiri bahwa para pejabat pemerintahan Orde Baru juga memperoleh bagian yang menggiurkan.

Sungguh kontras dengan kehidupan masyarakat Papua itu sendiri. Menurut statistik, dari 1,5 juta penduduk Papua 80,07% di antaranya tergolong miskin. Jelas sekali, keserakahan Freeport itu telah memancing konflik yang berkepanjangan dengan masyarakat setempat. Namun sebenarnya masalah telah mulai muncul sejak dilakukannya ekspedisi.

Ketika itu tim ekspedisi Forbes Wilson (1960) minta bantuan kepada masyarakat sekitar untuk membawakan barang-barang keperluan rombongan, tetapi pada akhirnya mereka tidak dibayar. Peristiwa inilah yang menjadi awal kekecewaan masyarakat. Konflik berikutnya berkaitan dengan dibuatnya “January Agreement” (1974), yang isinya menyangkut kesepakatan antara Freeport dengan masyarakat suku Amungme dalam pematokan lahan tambang dan batas tanah. Namun Freeport telah mengambil tanah adat jauh di luar batas yang telah disepakati.

Realitas sosial ini kemudian menyulut munculnya tuntutan perolehan laba Freeport oleh masyarakat adat setempat. Sehingga, akhirnya mulai 1996 Freeport memutuskan untuk memberikan dana sekitar 1% dari laba kotor perusahaan, yang disebut “Freeport Fund for Irian Jaya Development” . Namun disinyalir pemberian dana ini hanya sekedar akal-akalan Freeport untuk meredam kerusuhan Maret 1996.

Selain itu, dana tersebut telah menimbulkan konflik baru antar suku (Amungme dan suku-suku lainnya) mengenai siapa yang paling berhak memanfaatkannya. Jelas sekali hal ini menguntungkan pihak Freeport, karena dengan munculnya konflik internal ini konsentrasi masyarakat tak lagi tertuju pada Freeport. Selain itu, sebagai kompensasi dari dana tersebut, Freeport kemudian memperluas wilayah dan kuantitas penambangannya.

Tidak hanya itu, Freeport bahkan dengan leluasa memanfaatkan aparat keamanan dari TNI dan Polri untuk menghadapi aksi protes masyarakat. Untuk itu, Freeport telah mengucurkan dana yang sangat besar bagi aparat keamaan, yang telah beralih fungsi menjadi bodyguard atau centeng itu. Koran The New York Times memberitakan bahwa Freeport telah membayar sekitar 30 juta dolar kepada TNI dan Polri antara 1998 dan 2004.

Freeport juga telah menjejali hingga puluhan dan ratusan ribu dolar ke kantong sejumlah pejabat militer senior. Bahkan pada 2003 Freeport mengakui telah membayar TNI dan Polri sebesar 11 juta dolar antara 2001 dan 2002. Karenanya, kerap terjadi pelanggaran HAM di lokasi sekitar penambangan. Masyarakat yang berupaya mengais-ngais tailing untuk sekedar mencari sisa rezeki, diusir dengan paksa dan bahkan ada yang ditembak.

Masalah lainnya adalah dugaan kuat adanya praktik manipulasi hasil tambang yang dilakukan Freeport. Hasil tambang Freeport—berupa konsentrat tembaga, emas, dan perak—disalurkan secara tertutup melalui pipa besar yang dipasang langsung dari pusat pertambangan Grassberg sepanjang seratus kilometer ke tepi laut Arafura, untuk dibawa ke Amerika. Hanya sedikit pengolahan konsentrat yang dilakukan di Indonesia (sekitar 3% menurut anggota Panja DPR atau 30% menurut Manajer Teknik PT Smelting Gresik).

Tidak pula diketahui dengan jelas kuantitas dan nilai produksi yang sebenarnya. Bahkan kabarnya Freeport telah membawa pula uranium dari sana. Apalagi kalau dilihat dari perolehan negara yang hanya sebesar 2 triliun rupiah pertahun, dibandingkan dengan pendapatan Freeport pada 2005, jelas jauh di bawah nilai saham negara sebesar 9,36%.

Belum lagi dugaan kuat penggelapan pajak. Sebagai gambaran, pada 1994 Freeport memperoleh pendapatan 1,1 miliar dolar (atau berdasarkan kurs saat itu sekitar 2,2 triliun rupiah). Sementara Barnabas Suebu, mantan Gubernur Irian Jaya, menyebutkan bahwa nilai pajak Freeport yang kembali ke daerah selama ia menjadi Gubernur pada 1988-1993 tidak lebih dari 20 miliar rupiah (kurang dari 0,2% pendapatan Freeport tersebut).

Pelanggaran lainnya adalah kerusakan lingkungan. Entah berapa besar tanah di sekitar pertambangan yang telah rusak berat selama beroperasinya Freeport. Tentu saja ini memberikan dampak yang tidak menguntungkan bagi ekologi Papua maupun kesehatan masyarakat. Bayangkan saja, masyarakat mesti meminum air dari sumur-sumur yang telah sangat tercemar limbah.

Sekedar gambaran, dari produksi harian Freeport sebesar 200 ribu ton bijih tembaga, menghasilkan limbah pasir kimiawi (tailing) sekitar 190 ribu ton. Dapat dibayangkan bagaimana dahsyat dampak buruknya bagi lingkungan setempat setiap harinya. Bahkan saat ini salju di puncak gunung Jaya Wijaya pun telah mencair akibat pencemaran limbah buangan ini.

Namun ironis sekali, pemerintah NKRI justru terus membela keberadaan Freeport di Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan dengan tegas menyatakan bahwa Freeport selalu memberi laporan data kinerja perusahaan kepada pemerintah Indonesia, sehingga tak ada alasan untuk menutup perusahaan Amerika tersebut. Masalahnya, seberapa jauh kejujuran mereka dalam memberikan laporan itu. Bahkan telah terbukti mereka tidak jujur. Lalu sampai kapan kita mesti menjadi budak di negeri sendiri pak Presiden?


Oleh: Muhammad Anis Maulachela
Koordinator Bidang Riset dan Pengembangan, Gerakan Masyarakat Peduli Pilkada dan Pemilu (GMPP)

Tidak ada komentar: